![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgk2V959sE0v7p9ElD8y2B1BWwdseVcaKPWN9-vHaopRfcxo3Y5434JWGLZ3iME9DFaygw9cr8Vrk63FNU5Cb26fEhuIOTTcftimtFCC4YIKG7x32ZVs8GRQ-i4PLM6J66P3SeIlAMP2QY1/s320/gothic-3017747_1920.jpg)
Beberapa bulan silam di tahun 2019, dunia tergempar akan sebuah kabar. Metropolitan menjadi lenggang tak berisikan yang memiringkan perekonomian disetiap kewarganegaraan. Entah bencana atau hanya sebuah rekayasa belaka. Seperti halnya setiap yang ada di dunia, pasti selalu mendapati blackside dan whiteside. Aku tak mengerti, namun ini benar-benar terjadi, dan siapa sangka mejadi sejauh ini? A dangerous virus bagai tinta hitam. Walau hanya setetes yang mengenai permukaan kertas, tapi dapat merusak konsep yang telah dimatangkan. Virus kecil yang menjera bumiku ini. Berawal dari Kota Wuhan, China, yang menewaskan beribu nyawa kemudian merambah ke berbagai penjuru dunia. Si kecil bermahkota ini, kami sebut dengan Corona Virus. Aku seorang remaja Indonesia jurusan mipa pun sebenarnya merasa penasaran akan virus ini. Negaraku pernah diisukan kebal terhadap virus ini. Pernyataan tersebut diusung dari beberapa kejadian yang sempat mengejutkan, seperti pada kabar sebuah kapal yang mayoritas penumpangnya terinfeksi virus tersebut. Akan tetapi orang-orang yang berasal dari negaraku dinyatakan negatif. Kejadian tersebut membuat banyak orang merasa yakin akan sistem imun yang dimiliki oleh warga negara Indonesia. Mendengar hal itu, tentu beberapa orang begitu juga dengan diriku, merasa kebingungan dan tidak percaya. Lambat laun yang diduga tak benar adanya. Ibarat tiada manusia baja dalam kasus ini. Grafik ODP (orang dalam pemantauan) dan PDP (pasien dalam pengawasan) terus meningkat. Nusantara mulai memerah di beberapa wilayah. Bukan merah darah, melainkan zona merah yang menandakan tingginya pasien virus corona. Hal ini mendorong pengerahan tenaga medis yang sangat banyak di berbagai belahan Nusantara. Para pahlawan kini bukanlah mereka yang mengenakan pedang dan baju bajanya. Namun, merekalah yang berjuang di garda terdepan demi keberlangsungan kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang. Perekonomian mengalami guncangan. Wirausaha terpaksa memulangkan karyawannya. Para perantau sukar kembali ke kampung halamannya. Kini, menjauh lebih baik daripada mendekat. Social distancing, terdengar tidak terlalu sulit dilakukan tapi masih banyak yang enggan menerapkan. Protokol kesehatan menjadi bagian dari keseharian. Dampak dari munculnya Corona sangat nyata. Lesuhnya citra dusunku adalah salah satunya. Beberapa orang telah dinyatakan sebagai ODP dan dikarantina. Ini menjadi tantangan besar, khususnya bagi para relawan penanggulangan penyebaran Corona Virus. Aku sebagai orang yang telah lama diberi tanggung jawab sebagai koordinator remaja putri, tentu saja ikut dalam kegiatan penanggulangan ini. Berbagai kegiatan kami adakan guna mencegah penyebaran virus corona. Kegiatan tersebut seperti penghimbauan kepada masyarakat agar selalu mematuhi protokol kesehatan, membuat tempat-tempat mencuci tangan yang dilengkapi dengan sabun, serta pembuatan portal pada jalan masuk dusun. Portal ini sebagai bentuk peminimalisir pendatang yang berkunjung ke dusun. Sebelum dipersilahkan masuk ke dusun, orang-orang beserta barang yang mereka bawa harus disemprot terlebih dahulu oleh petugas jaga. Kami para relawan membuat jadwal pembagian jaga setiap lima jam sekali, dengan tiga kelompok disetiap harinya, yang dimulai pada pukul delapan pagi hingga pukul sebelas malam. Dunia yang terlalu pemilah, dan akulah yang selalu mengalah. Saat pembuatan kelompok, tersisa satu kelompok yang beranggotakan remaja-remaja kecil. Karena remaja yang lebih tua dariku hanya ingin sekelompok dengan teman mereka, maka aku mengajukan diri untuk mendampingi remaja-remaja kecil itu. Aku melakukan hal ini bukan sekedar sebagai bentuk dari mengalah, namun karena saya juga tahu jika mereka para remaja kecil tidak bersama denganku, mereka tidak akan mau mengikuti kegiatan jaga portal. Yeahh.. aku memang berteman akrab dengan mereka sejak kecil. Meskipun remaja seusiaku banyak yang sudah sibuk dengan teman barunya dan kehidupan pribadinya, tapi tidak dengan diriku, aku masih sering bermain bersama mereka. Bukan berarti aku tidak akrab dengan teman seusiaku atau lebih tua dariku, tapi bagiku sebuah pertemanan ialah dimana dirimu merasa senang dan nyaman. Aku pun berteman baik dengan para remaja yang lebih tua dariku dan yang sebaya denganku. Aku selalu berusaha menyesuaikan diriku dengan tempat dimana aku berada. Mungkin itulah yang membuat banyak orang menganggapku sebagai seseorang yang ramah dan mudah bergaul. Banyaknya pujian dan muka baik di depan tidak menjamin diri ini terhindar dari hinaan. Beberapa hari setelah penjagaan portal dimulai, aku mendengar kabar dari para pemuda bahwa ada beberapa remaja putri yang membicarakanku dibelakang. Awalnya mereka membicarakan tentang kesalahan yang aku lakukan sebelumnya. Aku mengakui bila aku telah melakukan kesalahan dengan membuat perincian hutang di grup remaja putri. Padahal, hutang tersebut sudah terbilang lunas. Namun, saat menyadari bahwa hutang tersebut sebenarnya sudah lunas, aku langsung meminta maaf kepada seluruh anggota remaja putri. Ya, seperti biasa, beberapa orang menyindirku lewat whatsapp’s story-nya. Mereka menertawakanku dan menghina diriku. Aku mengacuhkannya. Aku paham dengan sifat mereka yang mudah menyindir orang. Para senior remaja putri yang sudah tergolong sebagai pemudi pun tidak mempermasalahkannya sama sekali, begitu juga dengan remaja yang lain. Akan tetapi, beberapa orang masih merasa terganggu dan menyebarkan keburukanku. Aku masih tidak menanggapi hal tersebut. Mungkin bagiku diam akan lebih baik. Aku berpikir bahwa setiap orang pasti memiliki keburukannya masing-masing. Takkan ada manusia yang benar-benar sempurna. Dan bukanlah hal yang langka di masa sekarang ini jika banyak mulut yang memakan bangkai temannya sendiri. Membicarakan orang di belakang atau sering disebut gibah beralih menjadi salah satu hobi yang paling diminati banyak orang. Mereka bangga atas apa yang mereka lakukan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pernyataan mengenai gibah di media sosial. Entah kepuasan yang mereka dapat atau kebiasaan yang tak bisa lepas. Aku merupakan tipe orang yang tidak terlalu peduli dengan urusan dunia yang unfaedah. Hari berganti hari, waktu terus berlalu. Di suatu sore hari setelah aku pulang dari rumah kakekku, aku diajak teman-temanku bersantai di tepi sawah untuk menikmati senja. Suara klakson motor terdengar, aku dan teman-temanku menoleh. Ternyata suara tersebut berasal dari teman kami, Raina. Kami pun mengajaknya untuk bergabung, namun ia menolak, karena ia takut jika saat itu juga ia tidak pulang, ayahnya akan memarahinya sebab ia telah pergi sejak pagi hari. Beberapa saat setelah Raina pulang, kami melihat Kak Aura. Kami pun menyapanya. Tiba-tiba, raut wajah teman-temanku berubah menjadi tegang, dan salah satu dari temanku memberitahuku tentang sesuatu yang terjadi pada saat rapat remaja putri 2 hari lalu. Aku memang tidak hadir pada rapat itu, sebab aku sedang berada di rumah kakekku. Kemudian mereka menceritakan jika Raina diinterogasi oleh beberapa remaja putri dengan pertanyaan yang menyangkut dengan diriku. Mereka mengira aku membenci dan mengadu domba mereka dengan Raina. Temanku Ardia dan Liadra juga menceritakan tentang beberapa penghinaan tentang diriku yang diucapkan oleh para remaja putri yang masih sepah denganku. Saat itulah titik kesabaranku bergetar. Aku langsung menghubungi mantan ketua remaja putri untuk mengundurkan diri. Teman-temanku yang mengetahuinya tidak rela dan malah ikut berjanji akan mengundurkan diri juga bila aku keluar dari organisasi. Mendengar pengunduran diriku, mantan ketua remaja putri tersebut langsung mengadakan kumpul remaja setelah waktu shalat isya’. Aku sangat terkejut. Padahal, di malam itu aku memiliki banyak tugas sekolah yang harus diselesaikan. Selain itu, aku juga berniat mendatangi rumah orang yang menjadi dalang dari semuanya secara pribadi, untuk meminta penjelasan dan membicarakan permasalahan secara baik-baik terlebih dahulu. Mau, tidak mau. Bisa,tidak bisa. Aku harus tetap menghadiri kumpul remaja yang diadakan oleh mantan ketua tersebut. Aku tidak akan membiarkan mereka menduga bahwa aku takut untuk datang. Acara ini aku manfaatkan untuk meminta segala penjelasan dari masing-masing remaja. Aku berkata bohong? Tidak, tidak. Mereka salah memiliki argumen seperti itu tentangku. Apa yang aku katakan dan ceritakan pada acara tersebut adalah suatu kebenaran. Kalian tau apa yang sangat menyakitkan di dunia ini? Ialah disaat sahabat karibmu yang telah bertahun-tahun mengenalmu tidak mempercayaimu dan teguh untuk terus menjatuhkanmu. It’s okey… I hope I can still think of you as a friends. Dia bernama Trily, yang terus memojokkan Raina untuk menyatakan bahwa aku berbohong. Finally, kambing hitam terpecahkan. Kegeramanku masih membara untuk terus mengatakan semua kebenaran yang aku ucapkan. But let it go, masalah ini sudah selesai. Biarlah jika masih ada yang ragu tentang diriku. Bagiku mereka tak lebih dari seorang manusia yang tidak bisa membuatku menuju surga. Seusai masalah ini diklarifikasi saat kumpul malam itu, saya tidak mendengar hinaan mereka lagi. Masalah lain muncul karena kegiatan di tengah pandemi ini lagi. Kali ini berasal dari kegiatan sekolah. Aku adalah seorang anggota OSIS. Seorang OSIS yang memegang tanggung jawab dalam mengadakan berbagai kegiatan di sekolah. Di OSIS, aku termasuk orang yang dianggap penting dan aktif. Banyak kepercayaan dan tanggung jawab yang aku pegang baik dari senior, teman, maupun guru. Hingga suatu saat aku merasa dilupakan dan tidak dipedulikan lagi setelah adanya suatu program kerja. Program kerja itu adalah diklat bagi angkatan OSIS-ku yang diselenggarakan oleh OSIS angkatan atas. Diklat OSIS ini berlangsung selama tiga hari dan pelaksanaannya berbeda dari sistem diklat yang biasanya. Dua hari pertama dilaksanakan secara daring dan hari terakhir secara offline. Hal tersebut dikarenakan adanya pandemi virus corona. Tentu banyak kontroversi dari diadakannya kegiatan di tengah pandemi seperti ini. Terutama bagi para orangtua yang tidak memberi izin anaknya untuk bergabung. Di hari setelah diumumkannya kegiatan ini saja sudah banyak pihak orangtua yang mengutarakan ketidaksetujuannya dengan meneleponku. Padahal posisiku saat ini sama seperti anak mereka yang harus mengikuti kegiatan diklat, bukan yang mengadakan diklat. Aku pun tetap berusaha sebaik mungkin memberikan respon memuaskan bagi para orangtua temanku. Beruntung mereka percaya dan senang dengan respon yang aku berikan . Sepuluh halaman diary rata kanan-kiri dengan ukuran buku A5, empat halaman kertas folio mengenai pengalaman yang didapat selama magang menjadi OSIS, perancangan GBHK dari seksi bidang satu sampai sepuluh, membuat face shield, dan pembuatan proposal program kerja sesuai seksi bidang. Itulah beberapa tugas diklat yang harus diserahkan tepat pukul enam pagi pada hari pertama pelaksanaan kegiatan diklat ini. Yeaps… memang sangat melelahkan. Namun, bagi kami para OSIS mungkin sudah menjadi hal yang tidak mengangetkan lagi. Karena tugas semacam itu sering kami terima selama kegiatan latihan dasar kepemimpinan (LDK) sebelumnya. Kekuatan kuda pun kami kerahkan. Kami berusaha secepat mungkin untuk menyelesaikan semua tugas, agar kami dapat melanjutkan untuk menyiapkan barang-barang yang dibutuhkan pada saat pelaksanaan diklat. Setelah tugas-tugas kami hampir selesai, kami bergegas menyiapkan segala kebutuhan. Aku bertugas membuat dua puluh lima buah face shield bersama dengan Violin, Dhito, Alif, dan Adel. Dalam proses pembuatan face shield ini, aku sering meminta izin untuk mengantarkan ayahku ke dokter dan merawatnya. Teman-temanku tidak merasa keberatan dan tetap mengerjakan pekerjaannya di rumahku. Hanya kurang beberapa sentuhan, teman-temanku sudah harus kembali ke rumahnya. Kemudian aku menyelesaikan sendiri beberapa sentuhan tadi di malam hari. Setelah semua benar-benar selesai, aku langsung beristirahat karena pada pada saat itu suhu tubuhku naik. Aku memang sudah merasa tidak enak badan sejak dua hari lalu. Di hari kedua diklat, ibuku mengajakku untuk membeli obat ke dokter sekaligus meminta surat dokter. Sepulang membeli obat, aku tetap berusaha mengikuti diklat. Aku sangat berharap di hari ketiga tubuhku sudah mulai membaik dan aku dapat mengikuti kegiatan diklat secara offline di sekolah. Akan tetapi, di pagi harinya suhu tubuhku malah semakin meningkat. Aku masih tetap berusaha untuk bisa ikut diklat di sekolah walaupun hanya setengah hari. Sayang, tubuhku masih terlalu lemas untuk berangkat ke sekolah. Akhirnya aku mengirim semua tugasku beserta tiga buah surat izin ke sekolah. Surat izin yang aku kirimkan terdiri dari surat izin yang ditulis oleh orangtuaku, surat izin dari dokter, dan surat izin yang aku tulis sendiri. Aku sangat bersyukur memiliki teman-teman yang masih mau membantu disaat aku mendapat musibah. Beberapa temanku membantuku mengantarkan tugas-tugas dan surat-surat tersebut ke sekolah. Hari mulai petang menandakan kegiatan diklat berakhir. Tidak ada kabar dari senior osisku. Entah bagaimana tanggapan mereka tentang surat yang aku kirimkan, tapi sungguh tidak ada satupun senior osis yang menghubungiku. Aku merasa terpuruk. Aku yang selalu diikutkan dalam setiap kegiatan pun terasa hilang dan hanya ada dalam angan. Beberapa nama diberi tugas untuk mengurus acara MPLS. Dan namaku yang semula selalu terbaca di awal kini bahkan sudah tak ditemukan. Aku tau pasti para senior OSIS kecewa denganku karena aku tidak mengikuti diklat offline. Padahal peraturan yang telah berlaku menyatakan bahwa siswa yang tidak mengikuti satu hari pun pada saat diklat tidak dapat menjadi BPH atau badan pengurus harian. Namun, mau bagaimana lagi, bukankah sakit itu dari Yang Maha Kuasa. Mana mungkin diriku yang membuatnya atau bahkan yang memintanya. Aku diam, untuk memendam, dan agar tenang. Aku mencoba mengikhlaskan segalanya. Ibarat dulu akulah yang paling sering menyumbangkan segenap tenaga, pikiran, dan waktu luang, now, I’m nothing. Seribu jasa telah terlupa hanya karena segelintir kendala. Ini mengingatkanku, lagi. Pernah ada seorang guru yang bicara denganku bahwa aku adalah orang yang pemberani, berpendirian tinggi, selalu dibutuhkan dimanapun aku berada. Tapi, kesalahan kecil yang aku lakukan akan dianggap dan dibesar-besarkan oleh orang-orang sekitar. Hal itu karena diriku yang selalu menjadi acuan dan titik perhatian sehingga kesalahan kecil yang aku lakukan akan terlihat jelas. Jika dipikir, itu memang selalu terjadi di hidupku. Teman-temanku yang tidak mengikuti diklat offline berjumlah sebelas orang, why I am the one most seen at issue? Empat hari setelah diklat, tubuhku sudah kembali bugar. Di acara rapat osis berikutnya, aku hadir kembali. And you know! I don’t expect and was very happy. Para senior OSIS ku kembali bertegur sapa padaku.
1 Comments
That's very good😍
ReplyDelete